Dulu, gak
begitu ngerti sih perbedaan job disk – job disk para tenaga kesehatan itu. Terutama
bidan, yang setau aku kalo lagi sakit, aku baru dibawa berobat ke bidan. Yaa…secara,
orang desa, yang lebih merakyat gitu pengobatannya.
Setelah menekuni
bidang ini selama kurang lebih 4 tahun, aku mulai mengenal, memahami dan
akhirnya menyimpulkan tentang profesi yang ku pilih. Benar kata orang bahwa
orang berprofesi bidan itu gak bakal sukses kalau bukan dari panggilan. Benar juga
kata dosen – dosenku yang baik, dulu ketika kami pertama masuk perkuliahan,
mereka terang – terangan mengatakan dan menanyakan kepada kami – mahasiswa barunya
– bahwa jadi bidan itu juga tidak mudah. Mereka sering pula menawarkan, siapa
yang sudah merasa tidak sanggup, silahkan mundur dari sekarang, karena semakin
lama perjalanan kami akan semakin berat, tak pernah semakin ringan, katanya. Ada
juga yang bilang, kalau niat baik – biasanya alibi bahagiain orang tua – insya Allah
dipermudah jalannya, lalu menyarankan, udah terlanjur, dari pada cuma kebasahan
mending sekalian berenang. Jadi bidan gak buruk – buruk amat kok. Malah, kita
akan semakin mengembangkan diri karena kita belajar buanyak sekali pelajaran,
terutama pelajaran hidup.
Ya, begitulah.
Dunia kami memang bukan dunia yang tepat bila kamu tipe orang yang mencari
pekerjaan yang aman, sentausa. Dunia kami, penuh tantangan, penuh perjuangan. Dan
ini gak lebay lho…. Ini benar adanya. Buktinya, apa ada sekolah pendidikan
profesi yang macamnya banyak sekali seperti bidan? Apa ada uu tenaga kesehatan
yang sering digodok ulang, perubahan ini itu?
Mulai dari
asal usul profesi. Ngomongin soal job disk, sebenernya apa sih kerjaan bidan? Kenapa
sampai ada banyak banget bidan sekarang ini? Apalagi sekolahnya? Oke, kita
mulai dari tupoksi – tugas pokok dan fungsi – kami sebagai bidan. Kewenangan kami
adalah memberikan pelayanan – pomotif, preventif, kurativ, dan rehabilitative –
terhadap bumil, busui, bufas, bayi dan balita. Itu yang utama. Itu pun kami
terbatas. Terbatas di sini karena bila objek – objek pelayanan kami ini
nantinya mengalami hal – hal komplikatif, dan bila syarat – syarat memenuhi,
baru kami bisa menangani. Bila syarat tidak terpenuhi, kami salah – secara hukum
– bila memberikan pelayanan kepada mereka karena itu melewati wewenang kami,
yang artinya mengambil hak dan kewajiban tenaga medis yang lain, misalnya
dokter. Di sini sekarang, yang semakin banyak menimbulkan pro – kontra serta
konflik adalah semakin banyaknya dokter obsgyn – fyi, spesialis kebidanan dan
kandungan – yang pada akhirnya menimbulkan beribu pertanyaan lagi: sebenarnya,
apa sih tugas bidan? Kenapa harus ada bidan kalau dokter obsgynnya aja udah
banyak. Banyak yang perempuan pula.
Kita sampai ke
asal mula profesi ini diadakan. Menurut cerita sejarah – sejarah yang sering
disampaikan dosen – dosen saya sebagai dongeng pengantar tidur itu (siswanya
selalu ngantuk di kelas), dulu profesi ini ada karena sangat minimnya tenaga
medis di negeri tercinta ini. Tingginya angka kematian terutama pada ibu
melahirkan. Bahkan, sampai akhir masa pendidikan saya, angka kematian ibu nifas
pun masih tinggi. Maka dari itu negara mengadakan pendidikan akademi untuk
tenaga medis yang bernama Bidan. Tugasnya yaitu menolong ibu bersalin – karena persalinan
adalah proses alami – secara mandiri dan teutama untuk menurunkan angka
kematian ibu serta bayi baru lahir. Maka, jangan heran…bila anda para pembaca
pernah bertemu dengan senior saya yang berpuluh – puluh tahun yang lalu, orang –
orangnya sungguh berani, mandiri, berjiwa penyelamat, dan sangat cinta pada
negara. Analisa saya, mereka pasti lebih pandai dari kami dalam menangani kasus
gadar – obsgyn karena mereka terbiasa mandiri. Ya itu tadi, karena masih
minimnya tenaga kesehatan seperti dokter atau pak mantri jaman dulu. Jadi seorang
bidan, dulu boleh memberikan pelayanan sebagai dokter karena dokter masih
sangat jarang. Apalagi bila terjadi keadaan gawat darurat, bidan jaman dulu
lebih cenderung berpikir keras denga ilmu – ilmu yang sudah dia dapat untuk
menangani si pasien dari pada main rujuk, seperti bidan – bidan sekarang yang
tupoksinya di bawah dokter.
Nah, di sini
dimulai babak baru. Seperti yang anda ketahui bahwa wilayah kinerja atau
daereah tanggung jawab seorang bidan adalah satu desa. Maka angka kelahiran dan
angka kematian di desai itu, secara tidak langsung bisa menggambarkan kinerja
seorang bidan. Namun, jaman semakin bergeser. Pemerintah mengadakan berbagai
program, imunisasi, posyandu, desa siaga dan kawan – kawannya. Intinya dari
segala program itu bahwa pelayanan yang baik adalah pelayanan yang bersifat holistik,
berkesinambungan, ada evaluasi, dan tindak lanjut. Persis seperti pelayanan
yang diajarkan pada kami, bidan. Jadi tanggung jawab kami sedikit meluas karena
kami seringkali melibatkan keluarga pasien, tetangga dan orang – orang terdekat.
Salah satu alasan
mengapa hanya ada bidan perempuan, adalah karena kami suka berbagi. Kami senang
bersilaturahmi. Jadi, secara naluri, bidan memang akan selalu memberikan
pelayanan yang seperti itu. Apalagi dia sudah dipetakan dalam satu desa. Buatnya,
sedesa itu adalah keluarga baginya.
Dari situlah
tanggung jawab bidan mulai ditumpuk – tumpuk. Promotif dan surveilens yang
harusnya ada petugas sendiri dari tempat pelayanan dasar kesehatan bagi
masyarakat (puskesmas) semua di berikan dengan seenak pantat pada si bidan. Tega
sekali! Lalu buat apa mereka ada?!
Semakin ke
sini, jaman membaik. Desa per desa sudah sama – sama memiliki seorang bidan,
pahlawan kesehatan. Dari situ, mulai banyak anggapan: sekolah bidan saja,
sekolahnya cepat, kerjaannya jelas, dan nanti uangnya banyak. Berbondong –
bondonglah mereka sekolah bidan hingga akhirnya beribu lulusan bidan jadi
sampah masyarakat. Sebenarnya masih banyak desa yang membutuhkan, tapi karena
satu dan lain hal, ada saja alasan mereka tidak mau atau tidak boleh bekerja di
desa. Seperti si penulis ini. Kontradiksi.
Dan apakah
akhirnya kami jadi sampah masyarakat begitu saja? Oh, no! Never! Kami bukan
makhluk yang gampang menyerah. Pendidikan gila – gila an yang kami tempuh selama
tiga tahun mengajarkan pada kami babhwa kami bisa bekerja dimana saja. Lalu sekarang
mulailah bertebaran profesi bidan di bangsal – bangsal rumah sakit, poli anak,
salon kewanitaan, salon kecantikan, dan lain – lain. Bahkan, sekarang institusi
pendidikan kebidanan, dosen – dosennya pun berprofesi yang sama. Kalau satu hal
ini sih sebenarnya saya kurang setuju. Saya lebih setuju bila para cabi (calon
bidan) dipertemukan dengan semua tenaga medis, supaya mereka tetap kaya
pengetahuan dan keterampilan.
Hikmah kami
menjadi bidan adalah kami belajar tentang sebuah proses kehidupan. Sebuah siklus
ajaib dari berbagai siklus kehidupan wanita. Sisi kehidupan yang bisa jadi
sangant membahagiakan namun bisa juga jadi sangat traumatis, sangat
menyedihkan. Ya, itulah hal – hal yang kami hadapi setiap hari. Maka kami,
bidan – bidan, dididik agar kuat mental. Kami adalah pengayom keluarga yang
menjadi objek pelayanan kami. Kami menjaga pelayanan yang kami berikan karena
tanggung jawab kami, akan kami bawa mati bertemu sang kholiq.
Dari situ,
kami belajar dasar – dasar keluarga, kesehatan ibu dan anak, komunikasi
konseling, psikologi pendidikan dan banyak lagi. Bagiku, profesi ini membuatku
kaya akan khasanah ilmu pengetahuan. Dan aku tidak akan pernah menyesal memilih
profesi ini karena jika pun aku tak dapat mengambil penghidupan darinya, dia
telah memberi banyak dasar – dasar kehidupan yang orang lain mungkin akan
berbeda pemahaman dalam mengarungi hidup menjadi, seorang wanita, seorang ibu,
dan seorang nenek. Sekian.